Tak kenal maka tak sayang. Barangkali peribahasa itu tepat untuk menggambarkan keadaan Indonesia akhir-akhir ini, dimana orang tak hanya tak kenal dan tak sayang, tetapi bahkan justru memfitnah, membenci dan memaki, dengan orang yang belum dikenalnya di media. Tak terkecuali, berbagai fitnah, berita palsu hoax dan makian yang dialamatkan kepada Prof Dr KH Said Aqil Siradj, MA, Ketua Umum Ormas Islam terbesar di dunia Nahdlatul Ulama NU.Untuk itu, tulisan ini sedikit mengupas profil beliau, sosok santri yang dulu pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia MWA UI itu dinobatkan oleh Republika sebagai Tokoh Perubahan Tahun 2012 karena kontribusinya dan komitmennya dalam mengawal keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI dan berperan aktif dalam perdamaian dunia, khususnya di kawasan Timur Tengah. ***Ketika usia negara ini masih belia â delapan tahun â dan para pendiri bangsa baru beberapa tahun menyelesaikan âstatus kemerdekaanâ Indonesia di Konferensi Meja Bundar KMB pada 1949, di sebuah desa bernama Kempek, Palimanan, Cirebon, Jawa Barat, senyum bahagia KH Aqil Siroj mengembang. Tepat pada 3 Juli 1953, Pengasuh Pesantren Kempek itu dianugerahi seorang bayi laki-laki, yang kemudian diberi nama kecil kemudian tumbuh dalam tradisi dan kultur pesantren. Dengan ayahandanya sendiri, ia mempelajari ilmu-ilmu dasar keislaman. Kiai Aqil sendiri â Ayah Said â merupakan putra Kiai Siroj, yang masih keturunan dari Kiai Muhammad Said Gedongan. Kiai Said Gedongan merupakan ulama yang menyebarkan Islam dengan mengajar santri di pesantren dan turut berjuang melawan penjajah Belanda. âAyah saya hanya memiliki sepeda ontel, beli rokok pun kadang tak mampu. Dulu setelah ayah memanen kacang hijau, pergilah ia ke pasar Cirebon. Zaman dulu yang namanya mobil transportasi itu sangat jarang dan hanya ada pada jam-jam tertentu,â kenang Kiai Said dalam buku Meneguhkan Islam Nusantara; Biografi Pemikiran dan Kiprah Kebangsaan Khalista 2015.Setelah merampungkan mengaji dengan ayahanda maupun ulama di sekitar Cirebon, dan umur dirasa sudah cukup, Said remaja kemudian belajar di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur yang didirikan oleh KH Abdul Karim Mbah Manaf. Di Lirboyo, ia belajar dengan para ustadz dan kiai yang merawat santri, seperti KH Mahrus Ali, KH Marzuki Dahlan, dan juga Kiai Muzajjad selesai di tingkatan Aliyah, ia melanjutkan kuliah di Universitas Tribakti yang lokasinya masih dekat dengan Pesantren Lirboyo. Namun kemudian ia pindah menuju Kota Mataram, menuju Ngayogyokarta Hadiningrat. Di Yogya, Said belajar di Pesantren Al-Munawwir, Krapyak dibawah bimbingan KH Ali Maksum Rais Aam PBNU 1981-1984. Selain mengaji di pesantren Krapyak, ia juga belajar di IAIN Sunan Kalijaga, yang ketika itu KH Ali Maksum menjadi Guru Besar di kampus yang saat ini sudah bertransformasi menjadi UIN merasa belum puas belajar di dalam negeri. Ditemani istrinya, Nurhayati, pada tahun 1980, ia pergi ke negeri kelahiran Nabi Muhammad SAW Makkah Al-Mukarramah. Di sana ia belajar di Universitas King Abdul Aziz dan Ummul Qurra, dari sarjana hingga doktoral. Di Makkah, setelah putra-putranya lahir, Kang Said â panggilan akrabnya â harus mendapatkan tambahan dana untuk menopang keluarga. Beasiswa dari Pemerintah Saudi, meski besar, dirasa kurang untuk kebutuhan tersebut. Ia kemudian bekerja sampingan di toko karpet besar milik orang Saudi di sekitar tempat tinggalnya. Di toko ini, Kang Said bekerja membantu jual beli serta memikul karpet untuk dikirim kepada pembeli yang kecilnya di Tanah Hijaz juga sering berpindah-pindah untuk mencari kontrakan yang murah. âPada waktu itu, bapak kuliah dan sambil bekerja. Kami mencari rumah yang murah untuk menghemat pengeluaran dan mencukupkan beasiswa yang diterima Bapak,â ungkap Muhammad Said, putra sulung Kang keteguhannya hidup ditengah panasnya cuaca Makkah di siang hari dan dinginnya malam hari, serta kerasnya hidup di mantan âtanah Jahiliyyahâ ini, ia menyelesaikan karya tesisnya di bidang perbandingan agama mengupas tentang kitab Perjanjian Lama dan Surat-Surat Sri Paus Paulus. Kemudian, setelah 14 tahun hidup di Makkah, ia berhasil menyelesaikan studi S-3 pada tahun 1994, dengan judul Shilatullah bil-Kauni fit-Tashawwuf al-Falsafi Relasi Allah SWT dan Alam Perspektif Tasawuf. Pria yang terlahir di pelosok Jawa Barat itu mempertahankan disertasinya â diantara para intelektual dari berbagai dunia â dengan predikat bermukim di Makkah, ia juga menjalin persahabatan dengan KH Abdurrahman Wahid Gus Dur. âGus Dur sering berkunjung ke kediaman kami. Meski pada waktu itu rumah kami sangat sempit, akan tetapi Gus Dur menyempatkan untuk menginap di rumah kami. Ketika datang, Gus Dur berdiskusi sampai malam hingga pagi dengan Bapak,â ungkap Muhammad Said bin Said Aqil. Selain itu, Kang Said juga sering diajak Gus Dur untuk sowan ke kediaman ulama terkemuka di Arab, salah satunya Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki. Setelah Kang Said mendapatkan gelar doktor pada 1994, ia kembali ke tanah airnya Indonesia. Kemudian Gus Dur mengajaknya aktif di NU dengan memasukkannya sebagai Wakil Katib Aam PBNU dari Muktamar ke-29 di Cipasung. Ketika itu, Gus Dur âmempromosikanâ Kang Said dengan kekaguman âDia doktor muda NU yang berfungsi sebagai kamus berjalan dengan disertasi lebih dari 1000 referensi,â puji Gus Dur. Belakangan, Kang Said juga banyak memuji Gus Dur. âKelebihan Gus Dur selain cakap dan cerdas adalah berani,â ujarnya, dalam Simposium Nasional Kristalisasi Pemikiran Gus Dur, 21 November 2011 lama akrab dengan Gus Dur, banyak kiai yang menganggap Kang Said mewarisi pemikiran Gus Dur. Salah satunya disampaikan oleh KH Nawawi Abdul Jalil, Pengasuh Pesantren Sidogiri, Pasuruan, ketika kunjungannya di kantor PBNU pada 25 Juli 2011. Kunjungan waktu itu, merupakan hal yang spesial karena pertama kalinya kiai khos itu berkunjung ke PBNU â di dampingi KH Anâim Falahuddin Mahrus Lirboyo. Kiai Nawawi menganggap bahwa Kang Said mirip dengan Gus Dur, bahkan dalam bidang ke-nyelenehan-nya. âNyelenehnya pun juga sama,â ungkap Kiai Nawawi, seperti dikutip NU Online. âTerus berjuang di NU tidak ada ruginya. Teruslah berjuang memimpin, Allah akan selalu meridloi,â tegas Kiai Nawawi kepada orang yang diramalkan Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU di usia lebih dari 55 tahun NKRI dan mengawal perdamaian duniaPada masa menjelang kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1936, para ulama NU berkumpul di Banjarmasin untuk mencari format ideal negara Indonesia ketika sudah merdeka nantinya. Pertemuan ulama itu menghasilkan keputusan yang revolusioner 1 negara Darus Salam negeri damai, bukan Darul Islam Negara Islam; 2 Indonesia sebagai Negara Bangsa, bukan Negara Islam. Inilah yang kemudian menginspirasi Pancasila dan UUD 1945 yang dibahas dalam Sidang Konstituante â beberapa tahun kemudian. Jadi, jauh sebelum perdebatan sengit di PPKI atau BPUPKI tentang dasar negara dan hal lain sebagainya, ulama NU sudah terlabih dulu pandangan dan manhaj ulama pendahulu tentang relasi negara dan agama ad-dien wa daulah itu, terus dijaga dan dikembangkan oleh NU dibawah kepemimpinan Kang Said. Dalam pidatonya ketika mendapat penganugerahan Tokoh Perubahan 2012 pada April 2013, Kiai Said menegaskan sikap NU yang tetap berkomitmen pada Pancasila dan UUD 1945. âMuktamar ke-27 di Situbondo-pen ini kan dilaksanakan di Pesantren Asembagus pimpinan Kiai Asâad Syamsul Arifin. Jadi, pesantren memang luar biasa pengaruhnya bagi bangsa ini. Meski saya waktu itu belum menjadi pengurus PBNU,â kata Kiai Said, mengomentari Munas Alim Ulama NU 1983 dan Muktamar NU di Situbondo 1984 yang menurutnya paling fenomenal dan berdampak dalam pandangan kini, peran serta NU dalam hal kebangsaan begitu kentara kontribusinya, baik di level anak ranting sampai pengurus besar, di tengah berbagai rongrongan ideologi yang ingin menggerogoti Pancasila sebagai dasar negara. Hal ini tercermin dalam berbagai kegiatan dan program NU yang selalu mengarusutamakan persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam konteks ini, Kiai Said sangat berpengaruh karena kebijakan PBNU selalu diikuti kepengurusan dibawahnya â termasuk organisasi satu peran yang cukup solutif, misalnya, ketika beliau menaklukkan Ahmad Mushadeq â orang yang mengaku sebagai Nabi di Jakarta dan menimbulkan kegaduhan nasional â lewat perdebatan panjang tentang hakikat kenabian 2007. âAlhamdulillah, doa saya diterima untuk bertemu ulama, tempat saya bermudzakarah diskusi. Sekarang saya sadar kalau langkah saya selama ini salah,â aku Mushadeq. Disisi lain, Kang Said juga mengakui kehebatan Mushadeq. âDia memang hebat. Paham dengan asbabun nuzul Al-Qurâan dan asbabul wurud Hadits. Hanya sedikit saja yang kurang pas, dia mengaku Nabi, itu saja,â jelas Kiai Said seperti yang terekam dalam Antologi NU Sejarah, Istilah, Amaliah dan Uswah Khalista & LTN NU Jatim, Cet II 2014.Kiai yang mendapat gelar Profesor bidang Ilmu Tasawuf dari UIN Sunan Ampel Surabaya ini bersama pengurus NU juga membuka dialog melalui forum-forum Internasional, khususnya yang terkait isu-isu terorisme, konflik bersenjata dan rehabilitasi citra Islam di Barat yang buruk pasca serangan gedung WTC pada 11 September 2001. Ia juga kerapkali membuat acara dengan mengundang ulama-ulama dunia untuk bersama-sama membahas problematika Islam kontemporer dan masalah Jumat, 7 Maret 2014, Duta Besar Amerika untuk Indonesia Robert O. Blake berkunjung ke kantor PBNU. Ia menginginkan NU terlibat dalam penyelesaian konflik di beberapa negara. âKami berharap NU bisa membantu penyelesaian konflik di negara-negara dunia, khususnya di Syria dan Mesir. NU Kami nilai memiliki pengalaman membantu penyelesaian konflik, baik dalam maupun luar negeri,â kata Robert, seperti dilansir NU Online. âSejak saya bertugas di Mesir dan India, saya sudah mendengar bagaimana peran NU untuk ikut menciptakan perdamaian dunia,â Yordania Abdullah bin Al-Husain Abdullah II juga berkunjung ke PBNU. Ia ditemui Kiai Said, meminta dukungan NU dalam upaya penyelesaian konflik di Suriah. âDi Timur Tengah, tidak ada organisasi masyarakat yang bisa menjadi penengah, seperti di Indonesia. Jika ada konflik, bedil yang bicara,â ungkap Kiai itu, menguapnya kasus SARA di Indonesia belakangan juga kembali marak muncul ke permukaan. âMunculnya kerusuhan bernuansa agama memang sangat sering kita temukan. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia harus terus belajar pentingnya toleransi dan kesadaran pluralitas. Sikap toleransi tersebut dibuktikan oleh Kaisar Ethiopia, Najashi Negus ketika para sahabat ditindas oleh orang-orang Quraisy di Mekkah dan memutuskan untuk hijrah ke Ethiopia demi meminta suaka politik kepadanya. Kaisar Negus yang dikenal sebagai penguasa beragama Nasrani itu berhasil melindungi para sahabat Nabi Muhammad SAW dari ancaman pembunuhan kafir Quraisy,â tulis Kiai Said dalam Dialog Tasawuf Kiai Said Akidah, Tasawuf dan Relasi Antarumat Beragama Khalista, LTN PBNU & SAS Foundation, Cet II, 2014.Menghadapi potensi konflik horisontal itu, NU juga tetap mempertahankan gagasan Darus Salam, bukan Darul Islam, yang terinspirasi dari teladan Nabi Muhammad dalam Piagam Madinah. Dalam naskah tersebut, nabi membuat kesepakatan perdamaian, bahwa muslim pendatang Muhajirin dan muslim pribumi Anshar dan Yahudi kota Yastrib Madinah sesungguhnya memiliki misi yang sama, sesungguhnya satu umat. Yang menarik, menurut Kiai Said, Piagam Madinah â dokumen sepanjang 2,5 halaman itu â tidak menyebutkan kata Islam. Kalimat penutup Piagam Madinah juga menyebutkan tidak ada permusuhan kecuali terhadap yang dzalim dan melanggar hukum. âIni berarti, Nabi Muhammad tidak memproklamirkan berdirinya negara Islam dan Arab, akan tetapi Negara Madinah,â terang Kiai itu, menurutnya, faktor politis juga kerapkali mempengaruhi, bukan akidah atau keyakinan. âSeperti di masa Perang Salib, faktor politis dan ekonomis lebih banyak menyelimuti renggangnya keharmonisan kedua umat bersaudara tersebut di Indonesia. Dengan demikian, kekeruhan hubungan Islam-Kristen tidak jarang dilatarbelakangi nuansa politis yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama itu sendiri,â ungkapnya, dalam buku Tasawuf Sebagai Kritik Sosial Mengedepankan Islam sebagai Inspirasi bukan Aspirasi.***Ditengah agenda Ketua Umum PBNU yang sedemikian padat, Kiai Said dewasa ini diterpa berbagai fitnah, hujatan dan bahkan makian dari urusan yang remeh-temeh sampai yang menyangkut urusan negara. Ia dituduh agen Syiah, Liberal, antek Yahudi, pro Kristen, dan fitnah-fitnah lain oleh orang yang sempit dalam melihat agama dan konsep kemanusiaan dan kebangsaan. Meski demikian, ia toh manusia biasa â yang tak luput dari salah, dosa dan kekurangan â bukan seorang Nabi. Artinya, kritik dalam sikap memang wajar dialamatkan, tetapi tidak dengan hujatan, fitnah, dan berita palsu, melainkan dengan kata yang santun. Terkait hal ini, dalam suatu kesempatan ia memberi tanggapan kepada para haters-nya. Bukannya marah, Kiai Said justru menganggap para pembenci dan pemfitnah itu yang kasihan. Dan sebagai orang yang tahu seluk beluk dunia tasawuf, tentu dia sudah memaafkan, jauh sebelum mereka meminta maaf atas segenap kesalahan. Wallahu aâ Naufa Khoirul Faizun, Kader Muda NU dan Kontributor NU Online asal Purworejo, Jawa Tengah.
BiografiProf. Dr. KH. Said Aqil Siradj" Menjelang akhir masa jabatan sebagai ketua umum PBNU 2021 Daftar Isi 1 Riwayat Hidup dan Keluarga 1.1 Lahir 1.2 Riwayat Keluarga 1.3Daftar Isi Profil KH. Muhammad Saâid Gedongan1. Kelahiran2. Keluarga3. Mendirikan Pesantren4. Murid-Murid5. Awal Kedatangan di Gedongan6. Hubungan Pesantren Gedongan dengan Pesantren LainnyaKelahiranKH. Muhamad Saâid atau yang kerap disapa dengan panggilan Kiai Saâid dilahirkan di Desa Pesawahan Sindanglaut Cirebon sekitar tahun 1800 an, belum ada yang mengetahui secara pasti tanggal, dan tahun beliau Muhamad Saâid melepas masa lajanganya dengan menikahi Nyai Hj. MaemunahMendirikan PesantrenSebelum kepergiannya ke Gedongan Kiai Saâid terlebih dahulu bermusyawarah dan memohon ijin kepada Sultan Kasepuhan Cirebon, karena tanah yang akan dijadikan tempat pengasingannya adalah milik ayahanda Kiai Saâid atas pemberian Sultan. Sebagai kerabat keraton, Kiai Saâid diizinkan menempati tanah hutan untuk tempat pengasingannya sinilah secara bertahap kepala keluarga dan bangunan rumah keluarga semakin bertambah, sehigga membentuk sebuah komunitas sosial dalam sebuah pedukuhan yang belakangan bernama pedukuhan Gedongan. Pesantren yang diasuh Kiai Saâid pun menjadi masyhur dengan sebutan Pesantren murid-murid Kiai Saâid berjumlah banyak, akan tetapi hanya beberapa saja yang tercatat dalam memori dan sejarah Pesantren Gedongan. Diantaranya adalah1. KH. Jauhari Mashur yang dijuluki Kiai Ijo, menetap di Pondok Pesantren Gedongan dengan tujuan mengaji kepada Kiai Muhammad Saâid. Murid ini juga pernah mengaji kepada Kiai Saâid dengan berjalan kaki selama 41 hari dari desa kelahirannya di daerah Kecamatan Babakan Kabupaten Cirebon, atas perintah Kiai Saâid Kiai Ijo juga pernah menjalani perintah gurunya itu untuk tidak batal wudhu setiap hari dan tidak mengedipkan kedua matanya selam 41 KH. Siroj yang berasal dari Karangwareng Kecamatan Karang Sembung Kabupaten Cirebon. Murid yang berasal dari keluarga kaya ini mengaji di Pondok Pesantren Gedongan hingga putera terakhir Kiai Saâid yang bernama Kiai Siroj masuk ke pelaminan. Bahkan pada acara pernikahan Kiai Siroj dengan puteri keturunan keraton Solo yang bernama Nyimas Fatimah Azzahro Kiai Siroj bersama Kiai Munawir yang sengaja datang dari Krapyak Jogjakarta ikut mengantar pengantin ke Solo. Sebelum wafat Kiai Siroj berpesan kepada para putera dan puterinya agar tidak memutuskan tali hubungan dengan para putera dan cucu Kiai Saâid. Sehingga sampai saat ini hubunga keluarga Haji Siroj Karangwareng dengan keluarga Kiai Saâid tetap terjalin dan terjaga dengan KH. Amin berasal dari desa yang sekarang bernama Kalimukti Kecamatan Pabedilan Kabupaten Cirebon. Murid Kiai Saâid ini adalah orang yang senantiasa mendampingi Kiai Saâid pergi dengan mengemudi dokar. Supir pribadi Kiai Saâid ini adalah ayah kandung Kiai Mahrus Amin pengasuh Pondok Pesantren Darunnajah Kebayoran Lama Jakarta dan Pendiri Pesantren Madinnatunnajah yang tersebar di banyak daerah khususnya di Jawa Barat KH. Suchaimi, pendiri Pondok Pesantren Assalafiyah Luwungragi Kabupaten Brebes. Santri Kiai Saâid ini bersama mertuanya yang bernama Kiai Ambari dan saudaranya yang bernama Kiai Manshur setiap tahun selalu menyedekahkan sebagian dari hasil sawahnya kepada Kiai Saâid. Padi diangkut dengan pedati kedua kuda dari Brebes menuju Gedongan. Hal ini berlangsung hingga periode Kiai Siroj putera bungsu Kiai Saâid, menjadi sesepuh Pondok Pesantren Gedongan kini Pondok Pesantren Assalafiyah Luwungragi menjadi salah satu pesantren yang dikenal di daerah Brebes dan sekitarnya dan memiliki santri cukup banyak. Pengasuhnya sekarang adalah para anak cucu Kiai Suchaimi dan Kiai Manshur antara lain Kiai Subhan Maâmun dan Kiai Kholil Kedatangan di GedonganKedatangan Kiai Saiâd ke Gedongan untuk kemudian membangun pesantren di tempat itu beragam versi, ada yang menyatakan menghindari kejaran Belanda karena beliau terlibat dalam pemberontakan yang digagas Bagus Rangin dan Kesultanan Cirebon, adapula yang berpendapat beliau datang ke Gedongan semata-mata hanya untuk uzlah dan menyebarkan agama Islam di wilayah Cirebon yang dituturkan dari para Kiai di Gedongan menyebutkan bahwa kedatangan Kiai Saâid ke Gedongan disertai istrinya Nyai Hj. Maemunah dan sejumlah santri ayahnya dan calon santri yang berminat mengaji kepada Kiai Saâid ikut serta dalam pengasingan itu, jumlahnya 24 orang ditambah seorang pembantu laki-laki bernama Ngarpin dan pembantu perempuan bernama Kamal yang keduanya masih berusia Pesantren Gedongan dengan Pesantren LainnyaPondok Pesantren Gedongan termasuk pondok pesantren tertua di Cirebon dan memiliki hubungan erat dengan pesantren lainnya, hubungan kekerabatan itu dimiliki melalui jalur pernikahan kakak kandung Kiai Saâid yaitu Ny. Maesaroh diperistri oleh Kiai Sholeh pendiri Pondok Pesantren Benda Kerep, sementara itu hubungan dengan buntet diperoleh melalui jalur isterinya Kiai Saâid yaitu Ny. Maemunah yang merupakan kakak kandung Kiai Abas Buntet sejarah pesantren, ketiga pesantren yang masih memiliki hubungan kerabat ini ketika akan diserang Belanda sempat membuat bingung sang penjajah. Pondok Pesantren Gedongan tampak seperti lautan dan Pondok Pesantren Buntet tampak seperti tumpukan hubungan kekerabatan dengan dua pesantren tersebut, Pondok Pesantren Gedongan juga memiliki hubungan dengan sejumlah pesantren lain yang terjalin melalui jalur pernikahan antara anak-cucu Kiai Saâid dengan anak-cucu tokoh-tokoh pendiri pesantren lain dan tinggal di luar Pondok Pesantren Gedongan. Sebagian dari mereka adalahKiai Nachrowi yang merupakan putera kedua Kiai Saâid menikah dengan Ny. Humairoh puteri Kiai Sholeh Pondok Pesantren Benda Maksum Siraj dan Kiai Aqil Siraj cucu Kiai Saâid, yang menikah dengan Ny. Rubaiâah dan Ny. Afifah puteri Kiai Harun pendiri Pondok Pesantren Kempek Mahrus Ali menikah dengan Ny. Zainab puteri Kiai Abdul Karim pendiri Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.
BiografiAlmaghfurlah Kh. Imam Yahya Mahrus, Lirboyo - Pelangi Blog from Gus mus, kiai husein muhammad, kiai said agil siroj dan alumni lirboyo yang lain berjejaring dalam literasi. Mahrus aly lahir di dusun gedongan, kecamatan astanajapura, kabupaten cirebon, jawa barat, dari.l Kang Said atau yang memiliki nama lengkap KH. said Agil Siradj merupakan salah satu dari sekian banyak orang yang pernah menduduki ketua umum PBNU. Beliau lahir pada 03 Juli 1953, di Desa Kempek, Palimanan, Cirebon. Beliau merupakan putra kedua dari lima bersaudara, dari pasangan KH. Aqiel Sirodj dengan Hj. Afifah binti KH. Soleh Harun pendiri Pondok Pesantren Kempek. Saudara-saudara beliau diantaranya, KH. Jaâfar Shodiq, KH. Muhamad Musthofa, KH. Ahsin Syifa dan KH. Niâ Said Aqil Siradj melepas masa lajangnya dengan menikah Nyai. Nur Hayati Abdul Qodir. Buah dari pernikahannya, beliau dikaruniai empat orang anak, diantaranya, Muhammad Said Aqil, Nisrin Said Aqil, Rihab Said Aqil, dan Aqil Said Said Aqil Siradj kecil kemudian tumbuh dalam tradisi dan kultur pesantren. kepada ayahandanyalah, mula-mula ia mempelajari ilmu-ilmu dasar keislaman. Kiai Aqil sendiri merupakan putra Kiai Sirodj, yang masih keturunan dari Kiai Muhammad Said Gedongan. Kiai Said Gedongan merupakan ulama yang menyebarkan Islam dengan mengajar santri di pesantren dan turut berjuang melawan penjajah Belanda.âAyah saya hanya memiliki sepeda ontel, beli rokok pun kadang tak mampu. Dulu setelah ayah memanen kacang hijau, pergilah ia ke pasar Cirebon. Zaman dulu yang namanya mobil transportasi itu sangat jarang dan hanya ada pada jam-jam tertentu,â kenang Kiai Said dalam buku Meneguhkan Islam Nusantara; Biografi Pemikiran dan Kiprah mengaji dengan ayahanda maupun ulama di sekitar Cirebon ia rampungkan, dan umur dirasa sudah cukup, Said remaja kemudian belajar di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur yang didirikan oleh KH. Abdul Karim Mbah Manaf. Di Lirboyo, ia belajar dengan para ustadz dan kiai yang merawat santri, seperti KH. Mahrus Ali, KH. Marzuki Dahlan, dan juga Kiai Muzajjad selesai di tingkatan Aliyah, ia melanjutkan kuliah di Universitas Tribakti yang lokasinya masih dekat dengan Pesantren Lirboyo. Namun kemudian ia pindah menuju Kota Mataram, menuju Ngayogyokarta Hadiningrat. Di Yogya, Said belajar di Pesantren Al-Munawwir, Krapyak dibawah bimbingan KH. Ali Maksum Rais Aam PBNU 1981-1984. Selain mengaji di pesantren Krapyak, ia juga belajar di IAIN Sunan Kalijaga, yang ketika itu KH. Ali Maksum menjadi Guru Besar di kampus yang saat ini sudah bertransformasi menjadi UIN sudah begitu, ia masih saja merasa belum puas belajar di dalam negeri. Ditemani istrinya, Nurhayati, pada tahun 1980, ia pergi ke negeri kelahiran Nabi Muhammad SAW Makkah Al-Mukarramah. Di sana ia belajar di Universitas King Abdul Aziz dan Ummul Qurra, dari sarjana hingga doktoral. Di Makkah, setelah putra-putranya lahir, Kang Said â panggilan akrabnya â harus mendapatkan tambahan dana untuk menopang keluarga. Beasiswa dari Pemerintah Saudi, meski besar, dirasa kurang untuk kebutuhan tersebut. Ia kemudian bekerja sampingan di toko karpet besar milik orang Saudi di sekitar tempat tinggalnya. Di toko ini, Kang Said bekerja membantu jual beli serta memikul karpet untuk dikirim kepada pembeli yang kecilnya di Tanah Hijaz juga sering berpindah-pindah untuk mencari kontrakan yang murah. âPada waktu itu, bapak kuliah dan sambil bekerja. Kami mencari rumah yang murah untuk menghemat pengeluaran dan mencukupkan beasiswa yang diterima Bapak,â ungkap Muhammad Said, putra sulung Kang keteguhannya hidup ditengah panasnya cuaca Makkah di siang hari dan dinginnya malam hari, serta kerasnya hidup di mantan âtanah Jahiliyyahâ ini, ia menyelesaikan karya tesisnya di bidang perbandingan agama mengupas tentang kitab Perjanjian Lama dan Surat-Surat Sri Paus Paulus. Kemudian, setelah 14 tahun hidup di Makkah, ia berhasil menyelesaikan studi S-3 pada tahun 1994, dengan judul Shilatullah bil-Kauni fit-Tashawwuf al-Falsafi Relasi Allah SWT dan Alam Perspektif Tasawuf. Pria yang terlahir di pelosok Jawa Barat itu mempertahankan disertasinya â diantara para intelektual dari berbagai dunia â dengan predikat Kang Said mendapatkan gelar doktor pada 1994, ia kembali ke tanah airnya Indonesia. Kemudian Gus Dur mengajaknya aktif di NU dengan memasukkannya sebagai Wakil Katib Aam PBNU dari Muktamar ke-29 di Cipasung. Ketika itu, Gus Dur mempromosikan Kang Said dengan kekaguman âDia doktor muda NU yang berfungsi sebagai kamus berjalan dengan disertasi lebih dari 1000 referensiâ puji Gus hari, Kang Said juga banyak memuji Gus Dur. âselain cakap dan cerdas, beliau juga sosok yang beraniâ ujarnya dalam Simposium Nasional Kristalisasi Pemikiran Gus Dur, 21 November 2011 lama akrab dengan Gus Dur, banyak kiai yang menganggap Kang Said mewarisi pemikiran Gus Dur. Salah satunya disampaikan oleh KH. Nawawi Abdul Jalil, Pengasuh Pesantren Sidogiri, Pasuruan, ketika kunjungannya di kantor PBNU pada 25 Juli 2011. Kunjungan waktu itu, merupakan hal yang spesial karena pertama kalinya kiai khos itu berkunjung ke PBNU â di dampingi KH Anâim Falahuddin Mahrus Lirboyo. Kiai Nawawi menganggap bahwa Kang Said mirip dengan Gus Dur, bahkan dalam bidang ke-nyelenehan-nya.âNyelenehnya pun juga sama,â ungkap Kiai Nawawi. âTerus berjuang di NU tidak ada ruginya. Teruslah berjuang memimpin, Allah akan selalu meridloi,â tegas Kiai Nawawi kepada orang yang diramalkan Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU di usia lebih dari 55 tahun menjadi mahasiswa, Kang Said terlibat aktif di organisasi Nahdlatul Ulama NU, di antaranya adalah menjadi Sekertaris PMII Rayon Krapyak Jogjakarta 1972-1974, Yogyakarta, dan menjadi Ketua Keluarga Mahasiswa NU KMNU Mekah pada tahun 1983-1987. Selain menjadi pengurus organisasi, ia juga mempunyai kegiatan lainnya, menjadi tim ahli bahasa Indonesia dalam surat kabar harian Al-Nadwah Mekkah di tahun 1991Sekembalinya dari Timur Tengah, bukan menjadi menurun, Kang Said malah makin aktif dalam dunia nasional. Keahliannya dalam kajian keislaman, membuatnya diminta menjadi dosen di berbagai kampus di dalam negeri. Di antaranya dia tercatat sebagai dosen di Institut Pendidikan Tinggi Ilmu Alquran PTIIQ, Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta pada tahun 1995. Bahkan dua tahun kemudian ia menjadi Wakil Direktur Universitas Islam hanya itu, Kang Said juga dipercaya menjadi Penasehat Gerakan Anti Diskriminasi Indonesia Gandi yang bergerak dalam raung lingkup lintas agama dan anti diskriminasi PlazaKarinda no. B1.17Jl. Karang Tengah No.6 Jakarta 12440 Telp: 021-7503073 021-71059022. Email: info@ Ufuk Press (Religi)
Daftar Isi 1. Riwayat Hidup dan Riwayat Wafat 2. Sanad Ilmu dan Pendidikan Guru-guru 3. Kisah Teguh dalam Memiliki semangat yang Istiqomah dalam Ibadah 4. Mengasuh Pesantren 5. Referensi 1. Riwayat Hidup LahirKH. Jaâfar Shodiq Aqil Siroj, akrab dipanggil Buya Jaâfar oleh para santrinya lahir di komplek Pondok Pesantren Kempek Kecamatan Gempol Kabupaten Cirebon pada tanggal 1 Juni 1951, beliau merupakan anak sulung dari 5 bersaudara pasangan KH. Aqil Siroj Pondok Pesantren Gedongan, Cirebon dengan Ny. Hj. Afifah Harun, putri pendiri Pondok Pesantren Kempek, KH. Harun Abdul antara saudara-saudara beliau adalah KH. Said Aqil Siroj Ketua Umum PBNU Masa Khidmah 2010-2021, KH. Muhammad Mushtofa Aqil Siroj, KH. Ahsin Syifa Aqil Siroj KH. Niamillh Aqil Siroj. Riwayat KeluargaKH. Jaâfar Shodiq Aqil Siroj menyempurnakan separuh agamanya dengan menikahi Ibu Ny. Hj. Daimah binti KH. Nashir Abu Bakar yang merupakan sepupu beliau dari jalur ibu, dari pernikahan ini beliau dikaruniai putra dan putra yang kelak menjadi penerusnya, yakni Ny. Hj. Thoâatillah Jaâfar KH. Ahmad Zaeni Dahlan, Lc., Izzat Muhammad Abir Azra Larasati KH. Muhammad bin Jaâfar Ny. Najhah Barnamij binti KH. Bisyri Imam Gedongan Ummu Aiman Jaâfar KH. Ahmad Nahdli bin Jaâfar Ny. Upi Diana Sari, Kaliwungu Aqilah Jaâfar Ust. Ashif Shofiyullah, Hamid bin Jaâfar NasabBerdasarkan silsilah nasab KH. Jaâfar Shodiq Aqil Siroj, beliau masih merupakan dzurriyah Rasullullah yang ke-32 dengan urutan nasabnya sebagai berikut Nabi Muhammad SAW Fatimah Az-Zahra Al-Imam Sayyidina Hussain Sayyidina Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Muhammad Al Baqir bin Sayyidina Jaâfar As-Sodiq bin Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin Sayyid Muhammad An-Naqib bin Sayyid Isa Naqib Ar-Rumi bin Ahmad al-Muhajir bin Sayyid Al-Imam Ubaidillah bin Sayyid Alawi Awwal bin Sayyid Muhammad Sohibus Saumiâah bin Sayyid Alawi Ats-Tsani bin Sayyid Ali Kholiâ Qosim bin Muhammad Sohib Mirbath Hadhramaut Sayyid Alawi Ammil Faqih Hadhramaut bin Sayyid Amir Abdul Malik Al-Muhajir Nasrabad, India bin Sayyid Abdullah Al-âAzhomatul Khan bin Sayyid Ahmad Shah Jalal Ahmad Jalaludin Al-Khan bin Sayyid Syaikh Jumadil Qubro Jamaluddin Akbar Al-Khan Al Husein bin Sayyid Ali Nuruddin Al-Khan Ali Nurul Alam Sayyid Umdatuddin Abdullah Al-Khan bin Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah Pangeran Pasarean Pangeran Muhammad Tajul Arifin Pangeran Dipati Anom Pangeran Suwarga atau Pangeran Dalem Arya Cirebon Pangeran Wirasutajaya Adik Kadung Panembahan Ratu Pangeran Sutajaya Sedo Ing Demung Pangeran Nata Manggala Pangeran Dalem Anom Pangeran Sutajaya ingkang Sedo ing Tambak Pangeran Kebon Agung Pangeran Sutajaya V Pangeran Senopati Pangeran Bagus Pangeran Punjul Raden Bagus atau Pangeran Penghulu Kasepuhan Raden Ali Raden Muriddin KH. Raden Nuruddin KH. Murtasim Kakak dari KH Mutaâad leluhur pesantren Benda Kerep dan Buntet KH. Said Pendiri Pesantren Gedongan KH. Siradj KH. Aqil KH. Jaâfar Shodiq WafatKH. Jaâfar Shodiq Aqil Siroj kembali keharibaanAllah SWT pada hari Selasa tanggal 1 April 2014 atau bertepatan dengan tanggal 1 Jumadil Akhir 1435 H pukul WIB, di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat RSPAD Gatot Soebroto Jakarta karena sakit. 2. Sanad Ilmu dan Pendidikan PendidikanKH. Jaâfar Shodiq Aqil Siroj mengawali pendidikannya dengan mengaji di Pondok Pesantren Kempek sampai mengkhatamkan Al-Qurâan kepada paman beliau, KH. Umar Sholeh dan Alfiyah Ibn Malik dibawah bimbingan ayahanda beliau langsung yakni, KH. Aqil Siroj, kemudian beliau melanjutkan pendidikannya di beberapa pesantren seperti Pondok Pesantren Lirboyo 3 Tahun Pondok Pesantren Sarang 1 Tahun Pondok Pesantren Tanggir 3 Tahun Ngaji Pasaran Ngalap Berkah di Ponpes Mranggen, Salatiga, Kaliwungu dan ponpes lain di Jawa Timur Guru-guru KH. Aqil Siroj Kempek KH. Umar Sholeh Kempek KH. Mahrus Ali Lirboyo KH. Marzuki Dahlan Lirboyo 3. Kisah Teladan Teguh dalam pendirianSetelah ayahanda, Kyai Haji Aqiel Siroj berpulang ke Rahmatullah, kepemimpinan pesantren diambil alih olehnya, sebagai anak yang pertama beliau memiliki tanggung jawab yang besar dalam mengasuh Pondok Pesantren KHAS dulu MTM dan terlebih lagi keluarga. Hal ini sesuai dengan dawuh adiknya, yakni Romo Kyai Haji Musthofa AqielۧÙÙÙŰŻ ۧÙۧÙۚ۱ ÙÙ Ù ÙŰČÙŰ© ۧÙۧPutra sulung itu kedudukannya seperti BapakDalam menjalani amanat tersebut, Buya Jaâfar adalah sosok yang tegas dalam memilih. Ia tidak berbelit-belit dan bila sudah berkata A beliau akan tetap dalam keteguhanya mengatakan A. Memiliki semangat yang tinggiBuya Jaâfar juga dikenal sebagai sosok yang memiliki semangat yang tinggi dalam hidup dan seorang pekerja keras. Beliau pernah berpesan pada santrinya agar terus bekerja keras untuk mengejar cita-citanya. âJangan berharap sukses jika tidak mau capek dan lelah,â pesan Buya Jaâfar pada santri-santrinya. Semangat ini juga lah yang membawa pesantren KHAS Kempek di tangan beliau mengalami kemajuan pesat, hingga menghasilkan banyak perkembangan. Di antara perkembangan tersebut adalah sebagai berikut Pada tahun 1996, ponpes KHAS Kempek yang waktu itu masih bernama Majelis Tarbiyatul Mubtadiien membuka sekolah MTs Terbuka untuk mengikuti tuntutan perkembangan zaman, yakni wajib belajar formal 9 tahun kala itu. Dan pada tahun 2002, sekolah terbuka tersebut resmi menjadi MTs KHAS Kempek. Setelah itu, dibangun pula MA KHAS Kempek pada tahun 2003 dan SMP KHAS Kempek pada tahun 2009. Pada awalnya, pesantren Kempek didirikan khusus untuk para santri yang fokus mengkaji kitab kuning. Akan tetapi kalau zaman sekarang pondok pesantren masih seperti itu, maka kemungkinan besar minat santri untuk belajar di Kempek akan semakin berkurang karena disamping santri yang notabanenya adalah mengkaji kitab kuning juga harus mengikuti perkembangan dari inisiatif itulah, Abuya Jaâfar mereformasi untuk kegemilangan pesantren Kempek dengan menambahkan kurikulum wajib belajar formal. JujurDawuh beliau yang populer adalah âSantri aja bulit, aja menang dewekâ. Santri jangan curang, jangan menang ini jarang dimiliki oleh orang lain. Sampai orang terdekatnya pun mengakui bahwa beliau adalah sosok yang sangat jujur. Saking jujurnya beliau tak pernah sembarangan dalam mengatur keuangan. Uang pondok yang dipegang oleh beliau sangat rapih dan tertib tak pernah disatukan dengan uang milik pribadinya, agar lebih berhati hati dalam menggunakan hak milik sendiri. KH. Muh. Musthofa Aqiel pernah menyebutkan hadis Nabi yang berbunyiŰčÙÙÙÙÙÙÙÙ Ù ŰšÙۧÙŰ”ÙÙŰŻÙÙÙ ÙÙۧÙÙÙÙ Ű§ÙŰ”ÙÙŰŻÙÙÙ ÙÙÙÙŰŻÙÙÙ Ű§ÙÙÙÙ Ű§ÙÙŰšÙ۱ÙÙ Ű§ÙÙÙÙ Ű§ÙÙŰšÙ۱ÙÙÙÙÙÙŰŻÙÙÙ Ű§ÙÙÙÙ Ű§ÙÙŰŹÙÙÙÙŰ©Ù Ű±ÙŰ§Ù Ű§ÙŰšŰźŰ§Ű±Ù ÙÙ ŰłÙÙ Artinya âHendaknya kamu selalu jujur karena kejujuran itu akan membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu akan membawa ke dalam surga.â HR. Bukhari dan MuslimDan oleh karena itu, Kang Muh yakin Bahwa Buya Jaâfar adalah dari penduduk surga. Istiqamah dalam ibadahâIsun bli bisa niru istiqomahe buya Jaâfar,â Begitulah pernyataan dari KH. Muh. Musthofa Aqiel saat menggambarkan sosok Buya Jaâfar yang sangat istikamah dalam beribadah, termasuk sholat tahajud. Waktu selalu beliau jadwal dan dilakukan dengan istikamah. Setiap jam 11 malam beliau istirahat dan jam 3 pagi bangun, lalu beliau sholat tahajjud dengan tak lupa mendoakan santri santrinya agar di-futuh-kan hatinya dan diberkahi hidupnya. Setiap setelah shalat Shubuh berjamaâah, Buya Jaâfar juga sangat istikamah membaca 1000 kali shalawat kepada Nabi Muhammad bersama santri-santrinya. Hal ini merupakan salah satu keistikamahan beliau yang sangat terkenang di hati para santrinya. Terlebih Buya Jaâfar pernah dawuh âDengan rajin bersholawat, yang kita usahakan dan cita-citakan, insyaallah akan tercapai.â 4. Pengabdian Mengasuh PesantrenSetelah ayahanda beliau wafat, KH. Jaâfar Shodiq Aqil Siroj diberi amanah untuk melanjutkan estafet kepemimpinan pesantren yang pada saat itu masih bernama Majlis Tarbiyatul Mubtadiin MTM yang masih merupakan satu kesatuan dengan Pondok Pesantren Kempek. Di mana seiring berjalannya waktu kemudian menjadi Pondok Pesantren KHAS Kempek, Dan untuk menaungi MTM ini, beliau bersama adik-adiknya yakni Prof. DR. KH. Said Aqil Siroj, MA Ketua Umum PBNU Th. 2010-2021, KH. Moh. Musthofa Aqil Siroj, Al-Maghfurlah KH. Ahsin Syifa Aqil Siroj dan KH. Niâamillah Aqil Siroj, kemudian pada tahun 1995 mendirikan Yayasan Kyai Haji Siroj KHAS dalam perkembangan selanjutnya sekarang Yayasan tersebut memiliki beberapa unit pendidikan yakni Madrasah Tahdzibul Mutsaqofien MTM Putra dan Putri Madrasah Tsanawiyah MTsS KHAS Kempek, tahun 2002 Madrasah Aliyah MAS KHAS Kempek, tahun 2003 Sekolah Menengah Pertama SMP S KHAS Kempek, tahun 2009 Majlis Dirosah Ilmiah Al-Ghadier, tahun 2009 Sekolah Menengak Kejuruan SMK KHAS Kempek Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan STIKES KHAS Kempek Sekolah Tinggi Agama Islam STAI KHAS Kempek Di samping kesibukan KH. Jaâfar Shodiq dalam mengasuh dan mengembangkan pesantrennya, beliau juga turut aktif dalam organisasi-organisasi keagamaan, sosial maupun politik, hal ini salah satunya dibuktikan dengan kesuksesan beliau dalam menyelenggarakan dan menjadi tuan rumah MUNAS Alim Ulama dan KONBES NU pada tahun 2012 dan beberapa jabatan yang diamanahkan kepada beliau hingga ahir hayatnya, diantaranya Pengasuh Majlis Tarbiyatul Mubtadiin Pon. Pes. KHAS Kempek Ketua Yayasan KHAS Ketua MUI kabupaten Cirebon Wakil Rais Syuriah Jawa Barat 5. Referensi
Beliaulahir pada tahun 1906 di dusun Gedongan kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon Jawa Barat, ayah beliau KH Aly bin Abdul Aziz dan ibu beliau Hasinah binti Kyai Sa'id, KH. Mahrus Aly adalah anak bungsu dari sembilan bersaudara.ĂlevĂ© Ă la dure » sur une petite ferme abitibienne, François Gendron a vu son pĂšre mourir trop jeune et a dĂ» bĂ»cher fort pour faire ses Ă©tudes, un parcours qui a marquĂ© celui qui dĂ©tient le record de longĂ©vitĂ© Ă lâAssemblĂ©e nationale. Mon pĂšre Ă©tait cultivailleur. [La ferme nâĂ©tait pas rentable, il devait travailler dans une usine pour complĂ©ter ses revenus.] Quand tu fais le train le matin avant dâaller Ă lâĂ©cole du rang Ă pied, ça forme le caractĂšre », laisse tomber lâancien dĂ©putĂ© pĂ©quiste en entrevue. Dans sa biographie, il revient sur ses racines qui ont profondĂ©ment marquĂ© sa longue carriĂšre Ă lâAssemblĂ©e nationale, ses convictions sociales-dĂ©mocrates et son penchant rĂ©gionaliste. Photo courtoisie François Gendron, 42 ans de passion pour le QuĂ©bec et ses rĂ©gionsĂcrit en collaboration avec Samuel Larochelleaux Ăditions Druide De La Sarre Ă PĂ©kin En 2012, vice-premier ministre, il est reçu en grand lors dâune visite en Chine. Je nâarrivais pas Ă croire quâun petit gars du 6e et 7e Rang Ouest de La Sarre, un fils de cultivateur qui a perdu son pĂšre trĂšs jeune, ait la chance de vivre ça », Ă©crit-il. Car M. Gendron, qui a occupĂ© 11 ministĂšres durant sa carriĂšre, dont lâĂducation, ne lâa pas eu facile. Son pĂšre, Odilon Gendron, sâest Ă©tabli en Abitibi dans le cadre du plan de colonisation Vautrin et pour Ă©viter la conscription de 1940 ». DĂšs son arrivĂ©e, sa mĂšre, Marguerite Mercier, a Ă©tĂ© catastrophĂ©e en constatant les conditions de vie sur place ». Sa famille vivait une vie de paysans, sans tĂ©lĂ©vision ni beaucoup dâargent ». La toilette Ă eau est arrivĂ©e chez nous quand jâavais 12 ans. On devait faire nos besoins dehors ou dans un contenant placĂ© dans la cave », Ă©crit-il. LâĂ©cole Ă lâarrachĂ© Dire que le systĂšme scolaire de lâĂ©poque laissait Ă dĂ©sirer est un euphĂ©misme. AprĂšs son passage Ă la petite Ă©cole, ses parents souhaitaient le garder Ă la maison pour quâil travaille Ă la ferme. Un religieux, cousin de son pĂšre, convainc la famille de lâenvoyer au juvĂ©nat. Câest sa tante Isabelle qui met la main Ă la poche pour lâenvoyer au secondaire, Ă Berthierville, dans LanaudiĂšre. Photo courtoisie Fils dâagriculteur et provenant dâun milieu modeste, il sâest battu toute sa jeunesse pour ĂȘtre Ă©duquĂ©. Puis le malheur frappe. Le directeur de conscience de François Gendron arrive Ă la conclusion que le jeune homme de 17 ans nâa pas la vocation religieuse, et le met Ă la porte du collĂšge. Lorsquâil revient de Berthierville pour lâannoncer Ă ses parents, la tragĂ©die a frappĂ©. Son pĂšre est dĂ©cĂ©dĂ© dans un accident automobile causĂ© par un chauffard en Ă©tat dâĂ©briĂ©tĂ©. Il rĂ©ussit toutefois Ă convaincre les religieux de le reprendre, mais sous conditions. Il doit sâoccuper du mĂ©nage des toilettes, et nâa pas le droit de participer aux rĂ©crĂ©ations. Cette expĂ©rience mâa forgĂ© le caractĂšre et permis dâapprendre que des convictions, ça se dĂ©fend », Ă©crit M. Gendron. Camelot Ă 19 ans JusquâĂ ce quâil obtienne son brevet dâenseignement, M. Gendron devra accumuler les petits boulots pour survivre. JâĂ©tais camelot Ă 19 ans, les gens me traitaient de grand niaiseux », dit-il. Ă un moment, il dort dans un sous-sol dâĂ©glise et se lave Ă la dĂ©barbouillette. Lorsquâil est Ă©lu dĂ©putĂ© dâAbitibi-Ouest en 1976 avec la vague qui porte au pouvoir le Parti quĂ©bĂ©cois de RenĂ© LĂ©vesque, M. Gendron, enseignant et syndicaliste, porte avec lui ces expĂ©riences. Il mĂšnera un important combat pour que lâAbitibi-TĂ©miscamingue ait sa propre universitĂ©. Dans les annĂ©es 1980, il pilote une rĂ©forme du dĂ©veloppement rĂ©gional. Et le fils dâagriculteur dĂ©pose une politique de souverainetĂ© alimentaire en 2012 sous le gouvernement Marois. AnxiĂ©tĂ© Mais son parcours politique a laissĂ© des traces sur sa santĂ©. Jâai fait des crises de panique sur une base rĂ©guliĂšre entre 1983 et 1990 », Ă©crit-il. Il sâest retrouvĂ© une dizaine de fois Ă lâurgence en cinq ans. Il a toutefois repris le contrĂŽle sur sa santĂ© en recevant des soins psychologiques. Aujourdâhui, M. Gendron, qui rĂ©side Ă La Sarre, Ă quelques dizaines de kilomĂštres de son lieu de naissance, reconnaĂźt quâil a de la peine » Ă voir lâĂ©tat actuel du PQ. Il ne croit pas quâil verra lâindĂ©pendance du QuĂ©bec, Ă laquelle il croit toujours, de son vivant. Photo courtoisie M. Gendron a Ă©tĂ© honorĂ© par plusieurs premiers ministres pour sa carriĂšre politique. Mais Ă 77 ans, il continue de croire quâun jour le QuĂ©bec reprendra sa marche vers la souverainetĂ©. Je vous ferai une liste dâattachĂ©s politiques de la CAQ qui ont encore la souverainetĂ© tatouĂ©e sur le cĆur », dit-il en riant. François Gendron, 42 ans de passion pour le QuĂ©bec et ses rĂ©gions, Ă©crit en collaboration avec Samuel Larochelle, sera disponible le 5 mai, aux Ă©ditions Druide.
JASHIJAU - Meski sudah berusaha menghindar semaksimal mungkin, saya tak tahan untuk tak ikut serta menulis soal polemik seorang ustaz yang oleh banyak orang sering disebut "buya". Buya Arrazy Hasyimâdalam tulisan ini selajutnya disebut AHânamanya menjadi perbincangan tanpa henti di beberapa percakapan Grup WhatsApp dan khususnya di Facebook. Beberapa pernyataanâdan hal-hal besar
Paru le 5 mai 2021 Kiosque Prix Français François GenÂdron dĂ©tient un record de longĂ©vitĂ© de 42 ans comme Ă©lu en poliÂtique quĂ©bĂ©Âcoise. Il a dirigĂ© onze minÂistĂšres et obtenu les presÂtigieux titres de vice-preÂmier minÂistre du QuĂ©bec et de prĂ©siÂdent de lâAssemblĂ©e nationale. CepenÂdant, lâex-dĂ©putĂ© dâAbitibi-Ouest est beauÂcoup plus que des staÂtisÂtiques. Aujourdâhui retraitĂ© de la poliÂtique, mais touÂjours trĂšs actÂif, il a accepÂtĂ© dâexposer sa vie perÂsonÂnelle et proÂfesÂsionÂnelle. Sans langue de bois, il offre sa vision de vastes pans de lâhistoire du QuĂ©bec des cinquante derniĂšres annĂ©es et il partage ses anecÂdotes avec les grands noms de la poliÂtique quĂ©bĂ©Âcoise et canaÂdiÂenne quâil a cĂŽtoyĂ©s de trĂšs prĂšs ou de loin.
HaulKH. Muhammad Said Gedongan ke-91 menandakan Pesantren Gedongan ini kurang lebih sudah berumur satu abad. Jika dibandingkan dengan Pondok Pesantren Buntet Cirebon itu, tentu berdirinya lebih dahulu Pondok Pesantren Buntet, karena KH. Muhammad Said bukan lahir di Gedongan tapi lahir di daerah Tuk, Sindanglaut, Cirebon (tahun 1800 an).
Biografi dan Latar Belakang Pendidikan Rahmah adalah anak bungsu dari pasangan Muhammad Yunus Al-Khalidiyah dan Rafiah yang memiliki dua kakak perempuan dan dua kalak laki-laki. Keluarga ini penganut Islam yang taat. Yunus adalah seorang ulama yang pernah menuntut ilmu di Mekkah selama empat tahun. la bekerja sebagai kadi Hakim di Pandai Sikek, 5 km dari Padang Panjang. Sedangkan ibunya, Rafiah, punya hubungan darah dengan Haji Miskin, ulama, pemimpin Perang Padri pada awal abad ke-19. Ketika berusia enam tahun, Rahmah ditinggal wafat ayahnya pada usia 60 tahun. Sehingga untuk tetap mendapatkan pendidikan, keluarganya memilihkan salah seorang murid ayahnya sebagai guru mengaji Rahmah bersama dua kakaknya yang pernah belajar di sekolah desa dan mengajarkan Rahmah baca tulis Arab dan Latin. Menginjak usia 10 tahun, RĂ€hmah sudah gemar mendengarkan kajian yang diadakan di beberapa surau. la mengambil perbandingan dari kajian yang diikutinya, berpindah-pindah ke berbagai surau yang ada di Padang Panjang. Rahmah dan beberapa temannya juga mempelajari fiqih lebih dalam kepada Abdul Karim Amrullah ayah Buya Hamka di Surau Jambatan Basi. Mereka tercatat sebagai murid perempuan pertama yang ikut belajar di Surau Jambatan Basi, sebagaimana dicatat oleh Hamka. Hamka dalam Ayahku Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera 1982 menggambarkan sosok Rahmah El Yunusiyah sebagai perempuan muslim revolusioner dan pantang menyerah. Rahmah biasanya tak sendirian. Ia kerap datang bersama tiga sahabatnya, yakni Rasuna Said, Siti Nansiah, dan Djawana Basyir. Di antara mereka berempat, ia tampak sebagai pemimpinnya. âBoleh dikatakan bahwa sebelum itu, belumlah ada kaum perempuan yang belajar agama, nahwu-sharaf, fiqih, dan ushul-nya, Sebelum itu, kaum perempuan baru belajar dalam pengajian umum,â demikian tulis Hamka. Konsistensi Rahmah dalam Menutup Aurat Sepanjang hidupnya, Rahmah menampilkan dirinya dengan pakaian baju kurung dan mudawarah. Anggota Konstituante Zamzami Kimin menulis bagaimana Rahmah memberi perumpamaan menutup aurat dengan membandingkan dua orang berjualan di tepi jalan raya. Penjual yang satu membiarkan jualannya terbuka sementara yang satu lagi menutupi jualannya dengan rapi, takut dihinggapi debu yang beterbangan. âKalau sekiranya saudara ingin membeli jualan itu yang manakah yang akan saudara beli,â tulis Zamzami menirukan ucapan Rahmah. Selain itu, Rahmah telah menampilkan ciri khas anak-anak putri dengan pakaian khas diniyah, kerudung putih yang mereka lilitkan di kepala, baik di ruangan kelas maupun di halaman sekolah. âBila masyarakat melihat gadis atau wanita memakai mudawarah, baju kurung membalut tubuh, sehingga yang kelihatan hanya tangan, muka, dan kaki, maka dengan spontan mereka menyebut, itulah dia murid-murid Rahmah El Yunusiyah,â tulis Zamzami. Berdirinya Madrasah Perempuan Pertama di Nusantara Pada tanggal 1 November 1923, sejarah mencatat berdirinya perguruan untuk perempuan Islam pertama di Indonesia yakni Madrasah Diniyah Puteri al-Madrasah ad-Diniyyah lil Banat di Padang Panjang, Sumatra Barat. Tujuan pendidikan Diniyah Puteri yang la kembangkan adalah, âMembentuk putri yang berjiwa Islam dan ibu pendidik yang cakap dan aktif serta bertanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat dan Tanah Air atas dasar pengabdian kepada Allah Swt.â Dua teman Rahmah, Siti Nansiah dan Djawana Basyir, termasuk guru terawal. Sementara Rahmah merangkap sebagai guru dan pimpinan. Mulanya ada 71 orang murid yang kebanyakan ibu muda. Pelajaran diberikan selama 2,5 jam meliputi dasar pengetahuan agama, gramatika bahasa Arab, dan ilmu alat. Sekolah Diniyah Puteri berkembang pesat, jumlah muridnya pun makin lama kian bertambah banyak. Tercatat, pada tahun 1928 Diniyah Puteri memiliki sedikitnya 200 murid. Pada 1925, Rahmah menyewa rumah bertingkat dua di Pasar Usang untuk dijadikan ruangan kelas dan asrama Diniyah Puteri. Ia mengupayakan sendiri mencari perlengkapan seperti bangku, meja, dan papan tulis. Sedikitnya 60 orang murid menempati asrama pada tahun pertama. Selain Diniyah Puteri, Rahmah membuka program pemberantasan buta huruf untuk kalangan ibu-ibu yang lebih tua pada 1926 setelah melihat kebanyakan mereka tak sempat mengenyam pendidikan formal. Kegiatan itu diikuti oleh 125 orang peserta. Pada awal 1926, karena kapasitas asrama yang disediakan di tingkat dua gedung tak mencukupi, pembangunan gedung baru mulai dilakukan secara gotong royong. Dalarn buku Peringatan 55 Tahun Diniyah Puteri dicatat, para murid Diniyah Puteri bersama-sama pelajar dari Diniyah School dan Thawalib mengangkat batu dari sungal yang berjarak 2,5 kilometer dari sekolah untuk membangun fondasi gedung. Sayangnya, ketika Diniyah Puteri baru berumur tiga tahun, ujian berat datang mendera. Ini sekaligus untuk melihat bagaimana sikap dan komitmen Rahmah terhadap gagasan dan cita-citanya. Ujian itu adalah pada 28 Juni 1926 gempa bumi berkekuatan 7,6 skala Richter mengguncang Padang Panjang, meruntuhkan gedung lama beserta fondas gedung baru yang sedang dibangun. Siti Nanisah, salah seorang guru, wafat karena tertimpa runtuhan bangunan. Gempa ini tercatat sebagai gempa cukup dahsyat melanda Padang Panjang dan sekitarnya. Gempa bumi mengakibatkan kegiatan belajar-mengajar Diniyah Puteri berhenti. Gedung dan peralatan mengajar hancur. Bersama separuh penduduk Padang Panjang, seluruh murid Diniyah Puteri mengungsi keluar kota. Rahmah menyaksikan orang-orang meninggalkan Padang Panjang mengungsi ke daerah sekitar yang lebih aman. Praktis kegiatan belajar mengajar terganggu. Dua tahun pasca-gempa, Allah memberikan hikmah yang luar biasa. Perkembangan Diniyah Puteri mengalami kemajuan yang sangat pesat. Tercatat muridnya sudah mencapal 200 orang Jumlah itu, sebagaimana dicatat oleh Dellar Noer, bertambah menjadi 300 pada 1933 dan 400 pada 1935. Untuk mengembangkan pengetahuannya tentang kurikulum sekolah, Rahmah melakukan studi banding melalui kunjungan sekolah ke Sumatra dan Jawa 1931. Selanjutnya ia juga mendirikan Freubel School Taman Kanak-kanak, Junior School setingkat HIS. Sekolah Diniyah Puteri sendiri diselenggarakan selama 7 tahun secara berjenjang dari tingkat ibtidaiyah 4 tahun sampai tsanawiyah 3 tahun. Pada tahun 1937 berdiri program Kulliyyatul Muâallimat al Islamiyyah 3 tahun yang diperuntukkan bagi calon guru. Perempuan Agamis Yang Nasionalis Pernah suatu ketika pemerintah kolonial hendak menawarkan subsidi pada lembaga yang didirikan Rahmah, akan tetapi dengan tegas dan berani, dia menolaknya. Keputusan ini diambilnya karena ia tidak ingin menjadi bawahan penjajah dan terikat pada aturan mereka. Rahmah sangat membenci penjajahan dan la adalah nasionalis sejati. Hal ini dibuktikan dengan keikutsertaannya dalam berbagai aktivitas memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sampai hari ini Diniyah Puteri telah melahirkan ribuan perempuan yang pintar sekaligus membuktikan jika dalam urusan belajar, laki- laki dan perempuan memiliki hak yang sama. Kiprah Rahmah di jalur pendidikan membuatnya mendapat perhatian luas. Ketika pemerintah kolonial berencana memberlakukan Ordonansi Sekolah Liar yang akan mengakibatkan sekolah tak berizin dari pemerintah kolonial ditutup, Rahmah memimpin panita penolakan di Padang Panjang pada 1933. Dia dituduh membicarakan politik sehingga membuatnya didenda 100 gulden oleh pengadilan. Pada tahun yang sama, Belanda melalui Politieke Inlichtingen Dienst menggeledah Diniyah Puteri. Tiga orang guru Diniyah Puteri Kanin RAS, Chasjiah dan Siti Adam Addarkawi dikenakan larangan mengajar dengan kesalahan yang dicari-cari. Pada 1938, la hadir dalam rapat umum di Bukittinggi untuk menentang Ordonansi Kawin Bercatat. Pada April 1940, Rahmah menghadiri undangan Kongres Persatuan Ulama Seluruh Aceh di Kotaraja. Aceh. la dipandang oleh ulama Aceh sebagai ulama perempuan terkemuka di pulau Sumatra Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Setelah mendapatkan berita proklamasi kemerdekaan langsung dari Ketua Cao Sangs In Muhammad Sjafiri, Rahmah segera mengerek bendera Merah Putih di halaman perguruan Diniyah Puteri. la tercatat sebagal orang yang pertama kali mengibarkan bendera Merah Putih di Sumatra Barat. Berita bahwa bendera Merah Putih berkobar di sekolahnya menjalar ke seluruh pelosok kota dan luar daerah. Menjadi Perempuan Pertama Bergelar Syekhahâ Pada Juni 1957, Rahmah berangkat ke Timur Tengah. Usai menunaikan ibadah haji la mengunjungi Mesir memenuhi undangan Imam Besar Al-Azhar. Dalam satu Sidang Senat Luar Biasa, Rahmah mendapat gelar kehormatan Syekhahâ dari Universitas Al-Azhar. Itu untuk pertama kalinya Al-Azhar memberi gelar kehormatan syekh pada perempuan. Hamka mencatat, Diniyah Puteri mempengaruhi pimpinan Al-Azhar untuk membuka Kulliyah Lil Banat, bagian Universitas Al- Azhar yang dikhususkan untuk putri pada 1962. Hadirnya sosok Rahmah adalah refleksi ideal seorang muslimah untuk setiap zaman. la adalah pejuang yang memiliki cita-cita tinggi. progresif, dan visioner. la berharap kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat tak hanya sebagai istri yang akan melahirkan anak atau keturunan, juga terangkatnya derajat kaum perempuan ke tempat yang lebih proporsional. Rahmah membuktikan bahwa perempuan mampu memberi peran dan kontribusi terhadap peradaban. Dia harus mengerti hak dan kewajibannya sebagai seorang istri, sebagai seorang ibu, dan sebagai anggota masyarakat. Kaum perempuan harus dapat menjalankan peranannya sebagaimana yang telah digariskan oleh agama Islam. Semuanya harus melalui pendidikan dan pengajaran. Perempuan harus terus belajar dan berupaya untuk memahami persoalan yang ada di sekitarnya. Selama mereka masih berada dalam kebodohan, nasibnya tak akan berubah. Karena itu Rahmah berpendapat, perempuan harus mendapatkan akses pendidikan yang sama sebagaimana kaum laki-laki. Hak untuk ilmu pengetahuan dan pendidikan antara laki-laki dan perempuan adalah setara. Dari kisah kehidupannya dapat disimpulkan bahwa Rahmah El Yunusiyah merupakan sosok pejuang perempuan dengan motivasi yang tinggi dan pantang menyerah dalam memperjuangkan pendidikan kaumnya. Perjuangannya berjuang berdasarkan ide-ide yang ia yakini bersumber dari ajaran Islam yang berlandaskan Al-Qurâan dan sunnah. Rahmah El Yunuslyah adalah tokoh ulama perempuan Nusantara yang telah jelas melakukan perjuangan dalam pendidikan perempuan Dengan menelaah pemikiran pembaharuannya dapat memberi gambaran bahwa perempuan juga dapat berkiprah dalam ranah publik dan lingkungan sosial tanpa meninggalkan tugas pokoknya sebagai istri maupun ibu. Menjelang Wafatnya Pada 1964, Rahmah menjalani operasi tumor payudara di RS Pirngadi, Medan. Pada Desember 1967, Rahmah berkunjung ke Jakarta untuk terakhir dalam rangka pembentukan Dewan Kurator Perguruan Tinggi Diniyah Puteri. Pada Juli 1968, dengan kondisi fisik yang semakin lemah, Rahmah berangkat menuju Kelantan ditemani keponakannya Isnaniah Saleh. Rahmah menemui alumni Diniyah Puteri di beberapa negara bagian Malaysia didampingi Datin Sakinah, alumni Diniyah Puteri asal Perak yang tinggal di Kelantan bersama suaminya, Datok Mohammad Asri yang merupakan menteri besar Kelantan. Mereka menyinggahi Penang, Perak, Kuala Terengganu, dan Kuala Lumpur. Namun, dalam kunjungannya yang ketiga dan terakhir ke Malaysia itu, ia tidak dapat bicara banyak karena kesehatannya yang semakin menurun. Perjuangan seorang Rahmah El Yumusiyah dalam memajukan pendidikan kaumnya adalah perjuangan yang menuntut konsistensi tingkat tinggi. Walau menderita penyakit cukup berat, sehari menjelang ajalnya ia masih sempat menemui Gubernur Sumatra Barat waktu itu Harun Zain, berharap pemerintah memperhatikan sekolahnya. Dalam pertemuannya dengan Harun Zain, ia mengatakan, âPak Gubernur, napas ini sudah hampir habis, rasanya sudah sampai di leher. Tolonglah Pak Gubernur Sekolah Diniyah Puteri dilihat-lihat dan diperhatikan.â Keesokan harinya setelah selesai mengambil air wudhu untuk shalat Magrib, ia kembali kepada Sang Pencipta, la wafat pada 26 Februari 1969, dalam usia 69 tahun, Jenazahnya dimakamkan di pekuburan keluarga yang terletak di samping rumahnya di sisi barat Asrama Diniyah Puteri yang beliau dirikan. Setelah Rahmah wafat, kepemimpinan Diniyah Puteri dilanjutkan oleh Isnaniah Saleh sampai 1990. Saat ini, Diniyah Puteri dipimpin oleh Fauziah Fauzan sejak September 2006. Sumber Ensiklopedi Ulama Nusantara uex7.